Senin, 11 Mei 2020

Dilema Iklan Rokok, Dilema Siapa?

Oleh: Fahni Haris
Seminggu ini saya merasa dikejar-kejar oleh hutang yang menumpuk. Hutang itu adalah deadline seabreg kegiatan yang hampir jatuh tempo. Mulai dari pengisian CV serdos, pembuatan ppt tugas kampus, midterm kampus, tugas harian sampai laporan mingguan emprop (baca - professor), proposal hibah, penelitian dan lain-lain. Sepertinya, kalau boleh memilih, ingin rasanya "mreteli" satu persatu tugas tersebut, lalu saya buang ke tempat sampah. Tentu saja, sampah keranjang ilmu saya.
***
Saya menangkap tugas menulis minggu ini, yaitu harus memberanikan diri untuk di expose keluar. Setelah minggu lalu, apa masalah yang terjadi sehingga kita tidak bisa menulis (lebih kepada tidak PD, tidak punya ilmu dll). Tetapi, paling tidak -- saya memberanikan diri untuk memulai menulis, ya disini -- di media sosial dengan cakupan kesempatan untuk dibaca orang lain sangat tinggi. Minggu ini saya telah menyelesaikan dua tugas dari kampus. Tugas pertama meresume dua chapter book yang membahas tentang pengaruh media komunikasi terhadap kesehatan. Bagian buku tersebut menjelaskan bagaimana media dapat mempengaruhi individu, komunitas atau organisasi baik positif maupun negatif. Saya, sebagai tenaga kesehatan -- berharap media-media dapat mempengaruhi individu atau masyarakat Indonesia agar dapat memilah (baca -- mendapatkan manfaat) dari informasi tersebut. Sebagai contoh: iklan rokok di Indonesia ini sebetulnya sangat memprihatinkan, lihat saja..bagaimana iklan tersebut tidak ada yang memperlihatkan bahaya rokok akan tetapi lebih memperlihatkan masalah "kemaskulinan" seorang pria, "kemachoan" pria dengan segala kegiatan yang menantang yang diperlihatkan di iklan tersebut.
***
Singkatnya saya ingat komika asal Madura: Muslim namanya. Dia pernah standup di suatu acara, "coba bayangkan kalau iklan rokok menampilkan rokok itu akan menyebabkan anda kehilangan uang ratusan juta untuk pengobatan sakit jantung, lebih lagi puluhan juta untuk tahlilan, 7 harian, 40 harian dll. Mungkin masyarakat Indonesia lebih takut kehilangan uang sebanyak itu" Kata Muslim di tengah standup comedy nya, diikuti tawa penonton kala itu. Hal ini sangat kontradiksi dengan apa yang ditayangkan oleh iklan rokok tersebut bukan?
Ada pesan salah satu ulama terkenal: "Berapa banyak manusia yang masih hidup dalam kelalaian, sedangkan kain kafan sedang di tenun"
Banyak manusia lalai, mereka berpikiran bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Saya kira, jika dikaitkan dengan salah satu surat Al Quran (Q.S Ar-Ra'd: 11) yang artinya kurang lebih: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri,” Hal ini berbanding lurus dengan tingginya angka kematian masyarakat Indonesia, salah satunya disebabkan karena rokok.
Dulu, ada berita menyampaikan: jika anda merokok satu batang, maka anda akan beresiko kehilangan satu menit usia di dunia. Ya, itu dulu; sudah lama sekali kiranya berita itu beredar. Anda tahu sekarang, berdasarkan hasil pencarian di internet, satu batang rokok yang anda hisap, beresiko kehilangan 11 menit usia anda di dunia. Tentu itu hanya hitung-hitungan angka (terkait risk factor) sebuah penyakit. Tapi jika dilihat dari data di atas, maka hitung-hitungan tersebut tidaklah salah. Mari kita lihat sedikit penjabaran diparagraf berikutnya.
Salah satu tugas yang lainnya--tugas kedua yaitu tugas meresume masalah asuransi kesehatan di Indonesia. Ditengah kuliah online dan tugas "nge-lab" harian, saya mencoba menganalisa tentang masih rendahnya "aware" masyarakat Indonesia tentang kesehatan akan tetapi tingginya angka klaim BPJS terkait penyakit jantung (walaupun hal ini tidak bisa dijeneralisir karena rokok semata). Buktinya, life expectancy (usia harapan hidup) masyarakat Indonesia masih dibawah tetangga kita, Malaysia (71 tahun berbanding 77 tahun). Sedangkan klaim BPJS 3 tertinggi yaitu, Hipertensi: 366.000, DM: 351.000, dan penyakit jantung 62.000. Tiga penyakit tersebut erat kaitannya dengan merokok. Hal tersebut bisa dijadikan sebagai pijakan bahwa preventing (pencegahan) penyakit kronis masih sangat minim. Disisi lain, ternyata negara juga dirugikan dengan klaim BPJS yang kita tahu dari tahun ke tahun mengalami defisit trilyunan rupiah. Data menunjukkan, di tahun 2017 BPJS Kesehatan Indonesia mengalami defisit 6.74 trilyun rupiah.
Terakhir, semoga ada solusi terbaik dari pemerintah, terlepas dari tingginya pemasukan cukai rokok yang diterima tiap tahunnya -- pemerintah juga harus memikirkan pencegahan penyakit yang ditimbulkan oleh rokok ke depannya. Masyarakat Indonesia juga harus lebih aware dengan kesehatannya, kurangi atau hentikan rokok sekarang juga sebelum rokok mengentikan (hidup) anda serta rutin mengecek kesehatan tiap bulan.
***
Taichung, May 08 2020

Dilema Iklan Rokok, Dilema Siapa?

Oleh:  Fahni Haris Seminggu ini saya merasa dikejar-kejar oleh hutang yang menumpuk. Hutang itu adalah deadline seabreg kegiatan yang ham...